AYAHKU PEJUANG PENDIDIKANKU
Aku
memakan nasi campur yang lauknya sederhana dengan lahap, walau gak ada ayam
atau ikan aku tetap memakannya karena kau harus mengisi energi kembali setelah
seharian bersekolah dari pagi sampai sore yang telah menguras tenagaku. Setelah
nasi campur dipiringku habis aku langsung menyeruput es teh manis sambil melirik
Vega yang sedang merapikan jilbabnya
didepan cermin, dia sedang bersiap untuk pergi kencan. Vega adalah teman
sekelasku yang baru saja pindah ke kosku, sebelumnya ia tinggal bersama
saudaranya di Kampung Melayu.
Drrzzztt...
Drrrzztt..
Kurasa
sesuatu bergetar dari tasku, ya.. Handphone. Segera ku ambil dan melihat siapa yang mengirimkan pesan.
“Dik,
kamu dimana? Tadi di GO ada kakek kamu nyariin kamu”.
Seketika perasaanku berdebar,
kakekku sudah meninggal sejak aku kelas 2 SD. Prasangka buruk mulai
menghinggapi pikiranku. Tanpa membalas sms yang
masuk, aku langsung mengirim sms ke ayah.
"Liaaa...
liaaa". Panggilan yang tak asing lagi ku dengar. Aku langsung keluar dari kamar, ternyata ayah sedang
berdiri di depan pintu kosanku.
Ayah
membisikkan ke telingaku “Ibumu umurnya gak akan lama lagi”.
Jatungku
berdetak lebih cepat tak seperti biasanya, orang yang telah melahirkan dan
membesarkanku kini sedang berbaring tak berdaya di Rumah Sakit. Aku segera
mengambil beberapa potong baju di lemari, tak lupa aku membawa laptop dan buku.
Dua minggu lagi Ujian nasional SMA akan tiba. Aku berpamitan kepada teman-teman
kosku. Lalu aku dan ayah bergegas menuju Rumah Sakit.
“Ini
nasinya dimakan”. Ayah menyodorkan sebungkus nasi dan segelas aqua.
Ibuku
sudah kesekian kalinya masuk Rumah Sakit, aku sangat khawatir karena ini lebih
parah dari sebelumnya. Keluarga besarku mulai berdatangan menjenguk ibu, begitu
pula teman-teman kos dan terdekatku.
“Bagaimana
kondisi ibumu?” ujar Dana sambil
menatapku
“Kata
dokter kondisi ibu semakin memburuk dan sore ini akan dilakukan cuci darah”
jawabku kesal
***0***
Malam
ini aku tidur bersama sepupuku di depan teras ruangan ibuku di rawat. Aku masih
mendengar suara nafas ibu, hatiku lega. Aku melihat jam yang melingkar di
tanganku menunjukkan pukul sebelas. Aku segera tidur.
“Lia
bangun, ibumu sudah dipanggil Allah.”
Seketika
dadaku resak dan air mata menetes di pipiku. Sepupuku mencoba menenangkan
sambil memelukku.
***0***
Setelah
kepergiaan ibu, Ayahlah yang menjadi orangtua tunggal yang membiayai sekolahku
dan adik. Ayahku adalah seorang petani, ia selalu pergi pagi untuk mencari
naskah dan bahkan pulang sore. Aku takut tidak bisa melanjutkan studi di
perguruan tinggi, karena sejujurnya orang yang membiayai sekolahku dan adik
sebenarnya ibu. Kini ibu telah tiada, aku mulai berpikir seribu kali mengenai
rencanaku untuk kuliah.
“Kamu
mau lanjut kuliah dimana nduk?” ujar ayah membuka pembicaraan
“Universitas
Negeri Malang yah”. Jawabku singkat
Aku
memberanikan diri meminta uang biaya tes kepada ayah. Hal yang tak ku sangka,
ternyata ayah sudah berubah bahkan ia mendukungku untuk melanjutkan kuliah.
“Ayah
akan kerja keras demi pendidikanmu nduk, ayah ingin kamu bisa seperti ibumu
studinya sampai S2”. Pesan terakhir ayah yang selalu tercatat dipikiranku.
Hari
sabtu ini adalah momen terbaikku bersama ayah. Karena di hari ini ayah telah
berubah tak seperti dulu. Ayah membelikanku buku latihan soal SBMPTN dan
mendaftarkanku kursus intensive di Ganesa Operation cabang Genteng.
Komentar
Posting Komentar